Resensi Buku
Judul :
Sepenggal Bulan untukmu
Penulis : Zhaenal Fanani Penerbit : Diva Press
Jumlah halaman : 488 halaman
Penulis Resensi : Annisa Indriyani
Aku tak mengira, ternyata masih ada wilayah yang demikian jauh tertinggal. Desa dengan satu sekolah dasar, satu mushala, dan satu guru. Aku berpikir ini salah siapa?
Pendidikan
ibarat seberkas cahaya yang mampu menuntun manusia keluar dari kegelapan hidup.
Sayangnya, di negeri kita masih banyak anak-anak yang terperangkap dalam
kegelapan itu sendiri, buta ilmu pengetahuan. Sama banyaknya dengan orang tua
yang tak memedulikan urgensi pendidikan sehingga merampas dunia anak-anak
mereka. Realita tersebut tak bisa terelakkan sebab terjadi di berbagai daerah
terpencil di Indonesia seperti yang dikisahkan dalam novel ini.
Adalah Desa
Pesanggrahan yang terletak di sebelah timur Kota Pasirian di kaki Gunung Semeru.
Desa ini dikelilingi hutan, terisolasi dari kehidupan luar. Setiap harinya,
para penduduk di desa ini pergi ke hutan mencari kayu, madu, telur semut, burung-burung,
buah-buahan, dan sarang burung walet. Anak-anak pun membantu bapak-bapaknya
menjadi penjelajah hutan. Masyarakat di Desa Pesanggrahan lebih mementingkan
materi daripada pendidikan untuk anak-anaknya.
Menjadi
penjelajah hutan adalah pekerjaan turun-temurun yang diwariskan oleh leluhur
mereka. Bosan menjadi penjelajah hutan, beberapa anak muda pergi meninggalkan
desa untuk mengais rezeki di kota besar. Modal pengetahuan dan pendidikan yang
minim membuat mereka hanya sebagai pekerja kasar. Mirisnya, saat kembali ke
desa mereka seolah-olah bertopeng dan berkata “Aku sukses di kota“. Bahayanya
lagi, anak-anak muda itu juga turut membawa nilai-nilai buruk ke desanya.
Setu Larang,
tokoh masyarakat yang memberikan banyak pengaruh di desa itu, merasa prihatin
atas minimnya pendidikan yang dimiliki oleh kaum muda di Desa Pesanggrahan. Kesadaran
yang tinggi akan pentingnya pendidikan, menggerakkan hatinya untuk membangun
sekolah. Niat mulia tersebut didukung oleh putrinya yang bernama Khotimah.
Berpuluh-puluh tahun berjuang bersama putrinya, hanya segelintir anak yang
datang untuk bersekolah. Guru-guru yang diminta untuk mengajar pun tak ada yang
kerasan. Hal itu disebabkan oleh masyarakat yang tak mendukung dan gaji yang
tak mencukupi. Meskipun demikian, untungnya masih ada seorang guru yang
bertahan, yakni Pak Solikhan. Keberadaan sekolah dan seorang guru tetap tidak
merubah paradigma masyarakat yang menganggap sekolah hanya tempat membuang
waktu dan tak menghasilkan uang.
Kedatangan
seorang gadis belia tamatan SMP perlahan merubah keadaan Desa Pesanggrahan.
Gadis itu adalah Tumirah. Jiwanya merasa terpanggil setelah mendapat informasi
tentang desa itu. Ia datang menawarkan diri sebagai guru tanpa meminta gaji. Ia
hadir dengan penuh ketulusan dan keikhlasan. Pertama kali menginjakkan kaki di
sekolah, ia tertegun. Sebuah sekolah yang memiliki enam kelas hanya terisi satu
kelas dengan 14 siswa. Padahal di desa itu terdapat 567 kepala keluarga. Hatinya
terasa pedih melihat anak-anak yang kehilangan dunianya akibat pemikiran keliru
orang tua mereka. Tumirah menciptakan suasana baru di kelas tanpa peduli
kondisi lingkungan yang ada. Ia tak ingin dianggap sebagai guru melainkan
sahabat. Sebuah sebutan yang begitu hangat dan akrab.
Tumirah tidak
menerapkan pembelajaran formal pada umumnya. Ia bermain dengan anak-anak sambil
memasukan pengetahuan kepada mereka. Secara tidak sadar, wawasan anak-anak
menjadi bertambah. Mereka juga belajar bernyanyi, menggambar, membaca, dan
menulis penuh kegembiraan. Sore harinya mereka pun belajar mengaji di mushola. Suasana
menyenangkan di sekolah menjadi perbincangan seru diantara anak-anak. Sehingga
membuat anak-anak yang bersekolah semakin banyak dari hari ke hari.
Sesuatu yang
telah dilaksanakan terkadang tak sebaik rencana sebelumnya. Di tengah
kegembiraan itu, Tumirah mendapat ancaman dari sebagian masyarakat. Penghasilan
mereka menyusut sebab anak-anak lebih memilih bersekolah daripada membantu
bapaknya pergi ke hutan. Salah satu warga mengatakan bahwa mereka tak butuh
sekolah. Mereka hanya butuh makan untuk tetap hidup dan mengajari anak-anak
untuk mencari nafkah. Sebuah adat yang diturunkan oleh leluhur mereka. Warga
meminta Tumirah untuk pergi meninggalkan Pesanggrahan. Kabar pengusiran Tumirah
membuat warga terpecah menjadi dua kubu yang saling bersitegang. Dukungan kuat
dari warga yang masih mempertahankannya, membuat ia tetap tabah dan bertahan.
Mempertatuhkan jiwa dan raganya untuk Pesanggrahan.
Sepenggal kisah
di atas adalah potret kecil ironi pendidikan di Indonesia. Menggambarkan
pemerataan pendidikan yang belum berhasil dilaksanakan. Di tengah polemik
kehidupan pendidikan di kota-kota besar, masih banyak sekolah-sekolah yang
terus bertahan dalam keterbatasan bahkan kehidupannya sudah di ujung tanduk. Melalui
kisah dalam novel ini, terlihat bahwa mendidik adalah sebuah cinta mendalam
dengan memberikan seluruh hatinya untuk anak-anak, utuh tanpa potongan. Bukan
hanya sekedar transfer ilmu. Jika dihitung, berapa banyak pendidik yang
benar-benar mendidik? Apakah kita termasuk ke dalam hitungan tersebut? Sejatinya,
itulah yang perlu dimiliki oleh seluruh pendidik, sebongkah cinta untuk anak
bangsa.
Perjuangan dan kegigihan
Tumirah dalam untaian kisah dan konflik di novel ini patut diteladani. Gambaran
seorang pendidik sejati yang berani mengorbankan segalanya demi masa depan tunas-tunas
bangsa. Sosok yang dianggap sebagai lentera yang menerangi gelapnya malam.
Serupa bulan yang cahayanya selalu dirindukan. Pribadi yang tantangannya tak
hanya pada materi tetapi juga pada kultur dan paradigma masyarakat. Seseorang
yang punya tanggung jawab besar dalam meretas generasi yang cerdas di seluruh
pelosok negeri.
#AyoBaca
#AyoMenulis
Komentar
Posting Komentar